Jajaran Polres Situbondo menangkap pasangan suami istri (pasutri) pemburu monyet jenis lutung di Hutan Taman Nasional Baluran (HTNB). Di depan penyidik, mereka mengaku menjual daging satwa langka itu ke pedagang bakso. Diduga, suami istri ini bagian dari sindikat pemburu monyet.
Pasutri yang tertangkap itu adalah, Samsul Arifi n, 46, dan Suhaini, 46, warga Desa Trigonco, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo.
Dari rumah kedua pelaku ini, polisi mengamankan dua senapan angin, 30 kilogram daging monyet yang siap kirim, serta seekor monyet yang masih hidup.
Penangkapan itu dilakukan ketika Suhaini hendak menjual daging monyet kepada seorang pedagang bakso yang berjualan di kawasan Asembagus. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, pasangan suami istri ini kini mendekam di tahanan Mapolsek Asembagus.
“Keduanya tertangkap tangan saat mau menjual daging monyet itu kepada pedagang bakso. Karena ancaman hukumannya 5 tahun lebih, maka kedua pelaku ditahan,” kata AKBP Taufik Rahmad Hidayat, Kapolres Situbondo melalui Kasat Reskrim, AKP Sunarto, Sabtu (13/3).
Menurutnya, dari hasil koordinasi dengan petugas HTNB, 30 kg daging monyet itu diperkirakan didapat dari sekitar 20-25 ekor monyet. Monyet yang diburu oleh pasangan suami istri ini adalah jenis lutung yang sering bergerombol saat mencari makan di hutan. Bahkan pada musim kemarau, monyet yang dikenal galak ini sering berada di pinggir jalan raya untuk mencari sisa-sisa makanan yang dibuang pengguna jalan raya di kawasan hutan Baluran.
Tersangka Samsul Arifin mengaku, mengetahui jika binatang yang ditembak dan dijual dagingnya itu termasuk hewan yang dilindungi undang-undang (UU). Namun karena terdesak kebutuhan sehari-hari, apalagi banyak pesanan daging monyet, maka dirinya bersama istri nekat berburu monyet di hutan Baluran.
“Biasanya daging lutung saya jual kepada pemesannya sekitar Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram,” kata Samsul Arifin di depan penyidik, Sabtu (13/3).
Samsul Arifin mengaku baru dalam satu dua minggu terakhir ini berburu monyet karena mendapat banyak pesanan. Ia mengaku dalam tiga kali berburu mendapatkan sekitar 75 kera. Seekor kera biasanya berat dagingnya sekitar 1,5 kg. Daging monyet itu kemudian dijual kepada pedagang bakso di Asembagus yang memesannya. “Untuk menjual daging lutung, saya biasanya hanya melakukan melalui handphone lalu diambil oleh pemesannya di sebuah tempat,” kata Samsul.
Sedangkan Suhaini mengaku tidak ikut berburu. Ia hanya menjualkan daging lutung hasil buruan suaminya itu kepada pemesannya. “Ini juga baru pertama saya jual daging ini,” katanya di hadapan penyidik. Dari pemeriksaan itu, polisi belum berhasil mengungkap siapa saja pemesan daging monyet tersebut, karena kedua tersangka tidak mau membeberkan nama-nama pemesan.
Pihak kepolisian berjanji terus menyidik kasus ini hingga diketahui kemana saja penyebaran daging satwa yang konon bila dikonsumsi bisa untuk obat penambah vitalitas itu. Polisi menduga dua orang ini adalah bagian dari sindikat perburuan monyet di kawasan HTNB dan aktivitasnya telah berlangsung lama.
Banyak Penyakit
Ketua Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI), Rahmat Shah menuturkan, jenis apapun kera atau monyet tidak layak untuk diburu, dibunuh, dijual dagingnya, apalagi dikonsumsi. “Kera itu banyak membawa penyakit apalagi kera liar,” katanya saat dihubungi Sabtu (13/3) malam.
Menurutnya, untuk satwa monyet biasanya kalau termasuk jenis monyet liar, setelah ditangkap harus dikarantina lebih dulu. Pertimbangannya, karena penyakit yang ada pada kera ini sangat banyak. “Kera yang habis ditangkap itu harus dikarantina dulu dan diberi vaksin, baru aman,” tambahnya.
Dari sisi hukum perburuan terhadap monyet, juga dilarang. Ditegaskan, sebagian besar jenis kera merupakan satwa yang dilindungi. “Termasuk kera jenis lutung itu hewan yang dilindungi,” tegasnya.
Terkait adanya orang yang berburu monyet dan mengonsumsi dagingnya untuk dijadikan sebagai obat atau khasiat tertentu, Rahmat sama sekali tak memercayainya. “Nggak ada dan nggak percaya kalau daging kera bisa untuk menyembuhkan suatu penyakit,” katanya.
Perburuan monyet di Taman Nasional Baluran juga membuat prihatin Tonny Sumampouw, anggota World Conservation Union. Pasalnya, kera tersebut ternyata dapat dimanfaatkan untuk kepentingan farmasi, seperti pembuatan berbagai vaksin dan lainnya. “Jika itu terjadi saya benarbenar prihatin. Apalagi diburu hanya untuk diambil dagingnya. Kera-kera itu jumlahnya sudah semakin berkurang serta merupakan primata yang lebih dekat dengan manusia,” kata Tonny Sumampouw yang juga salah satu Direktur TSI II Prigen, Kabupaten Pasuruan, kepada Surya, Sabtu (13/3) malam.
“Kelewatan betul jika kera-kera tersebut diburu dan dagingnya untuk dimakan. Apalagi kera ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan seperti pembuatan vaksin polio dan vaksin- vaksin lainnya,” imbuh Tonny yang juga Sekjen Perhimpunan Kebun Binatang Indonesia.
Di kawasan Taman Nasional Baluran yang terletak di Kecamatan Banyuputih, Situbondo, terdapat 444 jenis flora serta fauna sedikitnya 47 jenis mamalia, 12 jenis di antaranya adalah satwa yang dilindungi UU, termasuk monyet jenis lutung serta monyet ekor panjang. Meskipun berada di luar kawasan HTNB, satwa ini tetap tidak boleh untuk diambil dan dipelihara.
Keberadaan monyet lutung (trachypithecus auratus cristatus) dilindungi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 733/Kpts-II/1999 tentang Penetapan Lutung Sebagai Satwa yang Dilindungi. Salah satu pertimbangan SK menteri ini, karena populasi satwa jenis ini telah mengalami penurunan dan keberadaannya terancam punah.
Inventarisasi monyet ekor panjang dan lutung atau budeng di Taman Nasional Baluran dilaksanakan pada 25 Oktober 1995 sampai 30 Oktober 1995 lalu. Hasilnya, terdata populasi monyet ekor panjang sebanyak 1.548 ekor dan lutung 974 ekor. Namun jumlah ini dari tahun ke tahun diperkirakan menurun.
st6/iit/kur/surya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar